“ MENGASAH KEPEKAAN WUJUD KESETIAKAWANAN SOSIAL“
Aku melihat Royan, anak tetangga berumur
enam tahun sedang menangis di tepi jalan. Ketika kutanya mengapa ia menangis,
ia menjawab, bahwa kakaknya Fateh yang berumur delapan tahun berbohong akan
meminjamkan sepeda kepadanya saat pulang dari bermain. Sehingga membuat Royan
berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Sambil kutepuk pundak mungilnya, aku
mengatakan “ Sudah, tenang saja, nanti juga kakakmu akan memberikan sepedanya
kepadamu. Sekarang pulanglah, dan jangan menangis lagi !”
Ini berbeda denganku dahulu. Dulu, Kami
kakak beradik berjalan beriringan. Aku menggandeng tangan adikku, menjaganya
agar jangan sampai menyeberang jalan sendiri. Bersepeda, kami bergantian atau
berboncengan.
Sudah seluntur itukah Kita ?
Cerita tersebut bukan ukuran kehidupan kita
sebagai bangsa Indonesia saat ini, namun menjadi gambaran bahwa saat ini di
tengah guncangan alam, arus global dan peradaban dunia , nilai kesetiakawanan
dan kepedulian kita terancam.
Yang menjadi keniscayaan adalah kepada
siapapun, di manapun, kapanpun dan bagaimanapun kita dituntut untuk peka.
Kepekaan inilah yang harus terus kita asah melalui berbagai masalah dengan cara
penyelesaiannya. Sama seperti bangsa kita yang sedang diguncang berbagai
permasalahan. Bencana alam, korupsi, hukum, HAM, narkotika, pelecehan seksual,
gizi buruk, ancaman keamanan dan masih banyak peristiwa yang membutuhkan sikap
peduli dan toleransi kita. Harus seperti apakah kita? Ya, peka. Peka adalah
tergerak hatinya, bertindak dan meringankan kesulitan orang lain. Peka adalah
salah satu kekayaan jiwa seseorang. Setiap kita dapat menumbuhkan sikap peka
dengan memiliki empati dan toleransi. Tanpa ini, kepekaan akan sulit tercipta.
Sama halnya, jika kita pakai narkoba, itu berarti tidak peduli dengan diri
sendiri. Ini nol kepekaan !
Dengan kepekaan, kepedulian dan rasa
bertanggungjawab, inilah sikap yang
niscaya terus dipupuk. Tak perlu luntur hanya karena kita lebih tua atau muda.
Tak usah hilang rasa peduli meski kita kaya atau miskin. Tak usah malu jika
kita cacat fisik atau tidak. Bukankah di mata Tuhan, kita sama? Menjadi mahkluk
yang saling membutuhkan, kita dapat bersama –sama membangun kepekaan dalam
kehidupan sehari – hari dengan memahami peristiwa yang terjadi di sekeliling
kita. Dan jangan lupa juga, dengan berbagi dapat membuat kita bahagia. Inilah
hal kecil yang dapat memulihkan bangsa kita dengan segera dari keterpurukan
pandemi covid 19. Kita harus bersama – sama bersinergi menciptakan perdamaian,
kesetaraan, kebersamaan dan rasa cinta dan saling memiliki satu bangsa, satu
tanah air, Indonesia. Dengan kepekaan dan keihlasan berbagi kita bangkit
membangun bangsa ini. Agar terus berputar seperti roda sepeda Royan.
Bukankah naik sepeda berboncengan itu
menyenangkan ?
by Yuli Misgiyati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar