Senin, 26 Desember 2022

                                “ MENGASAH KEPEKAAN WUJUD KESETIAKAWANAN SOSIAL“


Aku melihat Royan, anak tetangga berumur enam tahun sedang menangis di tepi jalan. Ketika kutanya mengapa ia menangis, ia menjawab, bahwa kakaknya Fateh yang berumur delapan tahun berbohong akan meminjamkan sepeda kepadanya saat pulang dari bermain. Sehingga membuat Royan berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Sambil kutepuk pundak mungilnya, aku mengatakan “ Sudah, tenang saja, nanti juga kakakmu akan memberikan sepedanya kepadamu. Sekarang pulanglah, dan jangan menangis lagi !”

Ini berbeda denganku dahulu. Dulu, Kami kakak beradik berjalan beriringan. Aku menggandeng tangan adikku, menjaganya agar jangan sampai menyeberang jalan sendiri. Bersepeda, kami bergantian atau berboncengan.

Sudah seluntur itukah Kita ?

Cerita tersebut bukan ukuran kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia saat ini, namun menjadi gambaran bahwa saat ini di tengah guncangan alam, arus global dan peradaban dunia , nilai kesetiakawanan dan kepedulian kita terancam.

Yang menjadi keniscayaan adalah kepada siapapun, di manapun, kapanpun dan bagaimanapun kita dituntut untuk peka. Kepekaan inilah yang harus terus kita asah melalui berbagai masalah dengan cara penyelesaiannya. Sama seperti bangsa kita yang sedang diguncang berbagai permasalahan. Bencana alam, korupsi, hukum, HAM, narkotika, pelecehan seksual, gizi buruk, ancaman keamanan dan masih banyak peristiwa yang membutuhkan sikap peduli dan toleransi kita. Harus seperti apakah kita? Ya, peka. Peka adalah tergerak hatinya, bertindak dan meringankan kesulitan orang lain. Peka adalah salah satu kekayaan jiwa seseorang. Setiap kita dapat menumbuhkan sikap peka dengan memiliki empati dan toleransi. Tanpa ini, kepekaan akan sulit tercipta. Sama halnya, jika kita pakai narkoba, itu berarti tidak peduli dengan diri sendiri. Ini nol kepekaan !

Dengan kepekaan, kepedulian dan rasa bertanggungjawab,  inilah sikap yang niscaya terus dipupuk. Tak perlu luntur hanya karena kita lebih tua atau muda. Tak usah hilang rasa peduli meski kita kaya atau miskin. Tak usah malu jika kita cacat fisik atau tidak. Bukankah di mata Tuhan, kita sama? Menjadi mahkluk yang saling membutuhkan, kita dapat bersama –sama membangun kepekaan dalam kehidupan sehari – hari dengan memahami peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Dan jangan lupa juga, dengan berbagi dapat membuat kita bahagia. Inilah hal kecil yang dapat memulihkan bangsa kita dengan segera dari keterpurukan pandemi covid 19. Kita harus bersama – sama bersinergi menciptakan perdamaian, kesetaraan, kebersamaan dan rasa cinta dan saling memiliki satu bangsa, satu tanah air, Indonesia. Dengan kepekaan dan keihlasan berbagi kita bangkit membangun bangsa ini. Agar terus berputar seperti roda sepeda Royan.

Bukankah naik sepeda berboncengan itu menyenangkan ?

by Yuli Misgiyati