“ Masih hangat
sisa percintaan semalam. Hmm… hidungku
berdenyut masih ingin menciumi aromanya, melentur lidahku ingin lagi menjilati
gairahnya. Bibirku merekah mau lagi resapi
anyirnya. Jemariku melentik lentik ingin mengelupasi
kerak – keraknya untuk kurekatkan di jaketku untuk hiasan perlambang cinta”
***
Bersama
laju kereta yang menghilang di kegelapan malam berubah raut wajahku. Suasana lengang.
Aku di sini
sudah biasa. Sambil kuhisap sebatang rokok bisa
kulihat suasana malam dingin yang gamang. Cahaya terang lampu di peron tak
mampu menyembunyikan setiap gerakan, pun cicak yang saling mematuk di dinding
stasiun. Hembus angin menyapa
setiap tubuh. Seorang lelaki tua tertidur di bangku dengan mulut
menganga, seorang bencong berjalan cepat menuju toliet. Pemuda berjaket hitam
asyik menikmati sebatang rokok bersandar di dinding, sementara seorang lelaki tengah
baya tampak menenggak minuman berenergi dari sebuah botol, seorang ibu duduk di
bangku menyusui anaknya serta di
sebelahnya seorang anak kecil terkantuk – kantuk di pangkuan ayahnya, seorang
pedagang asongan sibuk menghitung recehan di trotoar, beberapa tukang becak dan
tukang ojek bercengkerama tentang penumpang mereka hari ini. Aku juga melihat
Petugas Keamanan menyisir stasiun dengan matanya yang tajam, siap dengan
senjata di tangan.
Stasiun.
Malam terus berdenyut. Aroma harum, sengau, busuk bercampur menelisik dada
hidup. Berlebur mengurai harapan di deru laju kereta. Lihat saja, Petugas loket
disibukkan tiket.
Petugas Pemberangkatan lihai memainkan
benderanya. Tukang ojek terbiasa menawarkan jasanya. Calo Tiket terbiasa
memangsa calon penumpang yang tergesa. Pedagang asongan, terbiasa dengan suara
lantangnya. Panjaga toilet, terbiasa duduk manis menunggu kotak pundi pundi sambil terkantuk –kantuk.
Pengamen kecil lantang teriakan nyanyian
sumbangnya. Pengemis sibuk menadahkan
tangan. Pencopet asyik
memainkan kelincahan jari -
jarinya. Mereka teramat bergantung pada kereta; Stasiun. Apalagi perempuan yang sok cantik dan seksi sepertiku. Ya, stasiun. Ia laksana lokomotif
yang menarik puluhan gerbong di belakangnya. Bagaimana mungkin kehidupan mereka,
aku, dilepaskan dari kereta ? Bukankah kereta terus melaju sejak pagi hingga
malam hari sampai pagi lagi ?
Aku
masih berdiri di sini, gerbong tak terpakai,
tua, karatan, dan gelap. Gemeretak gigiku
tanda
kecemasan. Terselip sebatang rokok di sela jari, menggigil kuyu melawan dingin
malam. Asam rasanya. Gincu yang kupoles sejak tadi sore pudar. Berkali – kali
kuhembuskan asap ke udara membentuk kepulan asa. Nafas jengah bergumul meramu
gelisah mengaduk jiwa di rongga dada. Lebih dari sejam aku menunggu dan sudah menghabiskan entah
berapa batang rokok.
“
Brengsek ! Dia menipuku lagi !”
Aku
sangat yakin kalau ia tak akan datang
malam ini. Namun jiwa yang diliputi
rindu ini menentang suara hati. Sangat tak mengerti, mengapa aku masih mematri
hati pada seorang lelaki busuk macam dia !?
“
Keterlaluan !! “ umpatku. Kuinjak – injak puntung terakhir.
“
Hai...!”
Sebuah
suara lelaki tiba- tiba mengejutkanku. Ah, bukan dia.
“
Menunggu Beni ? “ matanya liar
memandangku. “hahahahak... sampai kering
juga tak akan kau temukan!..” Rinto,
salah seorang teman Beni. “ Apa, kau tak ingin bersamaku ?” Ia
menggodaku.
Tanpa
kata aku bergegas tinggalkannya.
Dia tak berarti apa – apa bagiku.
“
Ups! “ Ia menarik lenganku “ mau kemana
?” sergahnya.
“
Bukan urusanmu !” kataku tanpa memandangnya “ Lepaskan tanganku !”
“
Aow, aow,aow..! Sejak kapan aku tak boleh menyentuhmu ?”
“
Uugh !!” kukibaskan tanganku agar terlepas dari cengkeramannya. “ Jangan ganggu
aku !”
“
Hahahahakk.... !!! “ Dia terbahak. Tawa
pengisyarat kalau aku perempuan leceh. Tawa pernyataan jika aku terbiasa dengan sentuhan nakal. Tapi kali ini,
sungguh ! sentuhan macam itu serasa silet yang menyayat kulit ! Aku sedang tak
ingin sentuhan manapun !
Aku
berjalan cepat melintasi rel kereta. Menembus terobosan para tukang ojek dan
sederet becak yang terparkir di depan stasiun.
Aku
hanya bisa melukis langit dengan air mata. Mengecup awan dengan siulan. Sungguh
! Lecehan lelaki itu badai yang
memporak-porandakan hatiku. Melarung mimpi diantara kepingan hati. Aku mungkin
busuk bagi setiap lelaki yang pernah menyentuhku. Namun bagiku daging yang
bernyanyi ini melagukan irama rindu demi pencapaian ritme indah dalam hidupku.
Aku tak ingin laguku berhenti sampai aku bernafas satu – satu. Karena aku tahu,
ada lirik pada bait – bait tertentu yang harus kusempurnakan. Yang harus
kutuntaskan ! Sebab bukan sekedar lagu, ini nyanyian kelam. Lengkingan malam
yang menghunus setiap jantung yang berdetak mendengarkan rintihan.
“
Brengsek! Brengsek !! “ umpatku berulang kali.
Aku
mulai merasa Lelakiku tak lagi menginginkan tubuh ini. Ia sudah berkali – kali
ingkar dari janjinya sendiri. Entah apa yang sedang menutupi mata hatinya. Nuraninya
tak lagi terketuk oleh suara tangis bocah.
“
Maafkan Ibu, Nak ! Ia tak lagi mengingatmu. Mungkin ia lupa ada darah kentalnya
mengalir di tubuhmu “
Aku
selalu ingat anakku, Dino, kini berumur tiga tahun. Aku kerap memandanginya di
kala ia tidur. Bercanda dengannya kala waktu – waktuku. Ya, ia lahir dari
rahimku. Murni dan suci tanpa cela rupanya. Sering kutitipkan ia pada Tri,
tetanggaku yang seorang pembantu, karena aku harus bekerja pada malam – malam
begini, bahkan terkadang hingga pagi menjelang.
Badanku cabik. Laksana sedang mengokop sup lumpur
dalam mangkuk berisi cacahan tulang – tulang bayi. Hitam dan pekat menopeng
wajahku. Untuk
raup saja tak ada seliurpun ludah membasahi
pipiku. Cemong!
Buat makan sehari – hari saja,
selama ini aku dapati dari tiap – tiap malamku melayani Lelaki Hidung Belang, berondong, ABG tua, akh!! Entah
apa lagi sebutan keparat – keparat itu! Untuk
berteriak suaraku tercekik langit malam. Kakiku cuma bisa
menendang bintang.
Berlariku hanya mampu sejengkal. Merangkakku menuju lekuk budak.
Kebutuhan hidup lebih mendesak, berjejal dengan harapan dan impian bernama masa depan. Itu selalu membawaku untuk
melakukan hal bodoh dan nista yang sama pada malam –
malam berikutnya. Kadang
aku berpikir, masih ada tidak ya,
aku menggenggam satu
cinta
? Segenggam saja,
kuraih cinta yang bertebaran diantara puluhan bola
api neraka dunia! Ah , sepertinya
imposible!
Beni.
Lelaki yang telah beristri itu telah membawa separuh hatiku. Bahkan sejak empat
tahun yang lalu ...
“
Nggak, apa – apa. Kita ikuti saja perasaan ini ...” ucapnya seraya lembut
membelaiku pada malam – malam yang membius.
Aku
menatapnya lekat – lekat.
“
Aku mencintaimu, Lasmi ... “
Bisikannya
membuaiku pada ratusan bahkan ribuan senyawa di udara. Menerbangkan bunga –
bunga pada dada yang bergelora. Mengisi cawan – cawan kosong dengan air surga
dalam rongga asmara. Bersemayam lama. Hingga aku melahirkan anak lelaki.
“
Apa kau masih berharap pada lelaki brengsek itu ? ”
Tiba
– tiba sebuah suara membuyarkan lamunanku. Hesti, perempuan berumur tigapuluh
tahun itu, menyodorkan segelas jus jeruk hangat kepadaku.
Kami
berdiam. Dia tampak menjagaiku.
“
Udah, lupakan aja dia, cari yang lain !” katanya seraya menghembuskan asap
rokok membentuk bola bola ke udara. Kami duduk berhadapan di sebuah lesehan tak
jauh dari stasiun.
“
Dia, ayah anakku !” tegasku.
Kabar
itu bukan hal baru buat Hesti. Selama ini,
semua yang terjadi padaku, ia
tahu. Perempuan bertubuh sintal itu lebih lama melacur
dariku. Dia
teman terdekatku, terbaikku, saat ini.
Tiba
- tiba terdengar suara laki – laki dan perempuan terkikik dari balik kain
penutup tenda. Canda – canda menggoda menusuk telinga. Kutajamkan pendengaran.
Aku terbelalak. Aku kenal suara itu ! Suara lelaki itu .... Beni !
“
Kamu cemburu ?!” tanya Hesti melihat gelagatku.
Wajahku
memanas. “ Hes, meski gue
pelacur, trus,
gue nggak boleh cemburu, gitu ?!”
“
Ya..., secara ! “
“
Secara gimana? Dia kan, juga ayah anakku
! Jadi wajar dong !” Mataku terbelalak.
“ Lasmi !” Ia menahan langkahku. Berusaha
meredamku. “ Gue tau, lo sakit ! Tapi coba berpikir jernih dong
! ” katanya.
“
Udah!! Gue nggak bisa menahan diri lebih lama di sini !” sergahku. Aku berlalu melintasi tenda sebelah berisi keduanya. Aku
mau muntah, muak!!
Aku
melihat lelakiku dengan seorang
perempuan muda, entah siapa. Mesra.
Hancur!
Remuk hatiku!
Malam
makin garang siap menerkam jiwa goncang ini. Malam ini jadi malam terburuk
dalam hidupku. Terburuk! Serupa hal yang melingkupi pikiranku. Orang mengatakan aku perempuan jalang yang malang.
Yang dianugerahi kecantikan tapi selalu dikuntit penderitaan. Yang dianugerahi
cinta, tapi timbul di tengah kemiskinan dan terpedaya dengan emas dunia yang
menyala. Ketika aku menyerah padanya ; ia ; cinta meninggalkanku tanpa
menyisakan sabait rindu sedikitpun. Aku serupa mangsa yang gemetaran dalam
cakar – cakar penurunan nilai harga diri dan bersimbah luka yang sangat
menyedihkan! Nista !
Aku
kerap tak bisa memejamkan mata. Malam-
malamku menjadi malam yang mengerikan! Kerap menyongsong keterkutukan! Jiwaku lelah! Kepayahan. Hingga untuk
memejamkan mata saja aku harus meminum obat tidur yang kubeli di apotek tak
jauh dari stasiun. Sudah lama kulakukan ini. Ya, kemanapun aku pergi, obat itu
selalu terselip di jaketku. Ia menjadi teman karibku. Ya, obat tidur itu ....
Obat itu, melenyapkan semua beban yang menderaku ! Meski sesaat ...
***
Malam membentang
mengepakkan sayap hitam. Ia laksana kerudung yang menutupi rambut panjang
seorang gadis. Senyum dingin mengecup
air mata. Mata tajam mengguratkan luka. Napas memuai beraromakan dendam kesumat
!
Kupikir aku sudah lupa seperti apa itu
cinta. Kupikir aku sudah
sangat muak, muaaakk sekali
dengan lelaki itu, tapi malam ini Beni
berhasil meluluhkan hatiku. Dia menemuiku dan memberi semua yang kubutuhkan. Semua
! Semmuanya!! Malam ini
menjadi malam paling menggairahkan untuk aku juga dia ! Ah, kali ini ia yang
menggebu – gebu. Bagaimanapun aku tak mau kalah bergelora ! Tatapan matanya
sangat aku rindukan, sorot mata yang telah lama hilang sejak perempuan muda itu
masuk ke dalam hidupnya. Kini aku menikmatinya. Sungguh, ini luar biasa!
Gerbong kereta.
“ Maafkan aku,
Lasmi ! Bukan maksudku melupakanmu. Aku hanya ingin mengikuti kata hati ...” Bibirnya merekah.
Aku diam
menatapnya. Ada sanjung puja sekaligus kegetiran merancau jiwa.
“ Kau tahu, aku
ayah dari anakmu. Maka percayalah, aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu
...” Kata – katanya laksana madu yang melumuri bibirku.
Kecup manisnya
menyengat ubun - ubunku. Menggetarkan jiwa dan meluruhkan seluruh darah yang
mengalir dalam tubuhku. Ia dahsyat dan luar biasa ! Aku tahu itu sejak empat
tahun yang lalu. Ya, jiwaku menjadi
hangat. Tubuhku menjadi lentur. Pasrah. Tak terarah ...
Ini getaran
terhebat dari nada – nada pengusir penat. Cawanku terasa terisi kembali anggur
kehidupan yang membawaku pada kepasrahan. Ah,
indah memang bermahkota cinta... berputik asmara beraroma nafsu ...
Sungguh, ini
malam penuh gelora jiwa sekaligus tiang pertama aku membuat pintu masuk baginya
pada sebuah masa. Masa baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. Aku baru
saja membimbingnya agar ia dapat mengurai tempat persinggahan jiwa. Aku adalah
metafor yang memeluk kenyataan, kenyataan yang menggulirkan kesatuan roh.
Sekaligus aku adalah pedang yang menebas rohnya ! Akulah Sang Eksekutor !
***
Derit pintu
gerbang stasiun membangunkanku. Aku
menguak, mengumpulkan nyawa. Seberkas cahaya menerpa wajahku. Kupicingkan mata.
Kuulas diri sepagi ini. Oh, aku masih di
gerbong usang ini. Rupanya malam tadi aku baru saja terbuai.
Kehidupan
kembali berdenyut di stasiun. Pun ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Angin
terasa menyayat kulit ari. Awan berarak kelabu. Napas ini agak sengau. Kulihat
orang – orang berduyun – duyun melangkah tergesa, bahkan berlari. Mata penat
dan wajah lesu berubah mengganas merasakan sesuatu. Mereka berseru, berkata –
kata tentang sesuatu. Menyiratkan ketakutan, kepanikan, kekhawatiran,
kengerian. Dalam sekejap stasiun padat dengan jiwa – jiwa yang resah.
“ Ada apa, Pak
?” tanya seorang ibu pada lelaki tua tak jauh dariku.
“ Ada yang mati
! tertabrak kereta !”
Semakin lama
semakin berkerumun orang – orang. Sementara aku terpekur di sini menahan tubuh
yang bergetar. Oh, ada tanda merah di sini bekas cumbuan malam tadi. Kusulut
sebatang rokok pereda ketegangan. Aku mengemas diri. Masih hangat sisa percintaan semalam. Rasanya
masih ingin aku menciumi aromanya, kujilati gairahnya, kuresapi anyirnya
dan kukupasi kerak – keraknya untuk
kurekatkan di jaketku sebagai hiasan perlambang cinta.
Memunguti sisa –
sisa cinta semalam membuatku seperti berdiri di bibir tebing persinggahan jiwa.
Melihatnya melambaikan tangan serta memanggil – manggil namaku. Hmm...
menggelikan ! Bersiul aku melihatmu
ketakutan.
Aku tak peduli
!!
Tanpa melihatpun
aku tahu siapa yang mati. Beni ! Tentu saja tubuhnya tercecer terlindas kereta,
karena tadi malam aku memasukkan obat tidur ke dalam minumannya lalu
menyeretnya ke tengah rel kereta. Aku yang menghabisinya !!
Lagu kematian menjadi
lagu terindah pagi ini. Aku baru saja menyelesaikan bait terakhir dari laguku.
Aku baru saja temui cengkok indah pada
nada – nadanya. Aku puas menuntaskan laguku.
“ Hai... ! “
Tiba – tiba
sebuah suara mendesirkan darahku. Rinto ! Lagi – lagi lelaki itu !
“ Aku tahu apa
yang kau lakukan semalam “ katanya dengan suara sangat jelas.
Aku tersentak.
Jantungku berdebar sangat kencang. “ Apa maksudmu ?! “ selidikku.
“ Maksudku ....
“ Ia tersenyum seraya mencolek pipiku, “ ..... kalau kau mau tak ada yang tahu,
kau ikuti saja semua keinginanku !” tawarnya. Kulihat wajahnya mangar-mangar pertanda ia sungguh –
sungguh.
Mblegedes!!!
Brengsek!! Ia mengunciku. Rupanya ia tahu aku yang membunuh sopir bus itu.
Sejak pagi itu
ada perjanjian kotor. Aku harus mengikuti semua kemauannya.
Aku menjadi pembiusnya.
Gairahnya. Geloranya.. Hasratnya. Seksinya. Dimanapun, kapanpun ia mau ! Tanpa aku kecup
sedikitpun nikmatnya !! Budak !! Ya, aku jadi budaknya !!!!!
“Shieett!!! Go
to hell !!” batinku.
Geliatku
sekuat serigala yang aumannya menembus
langit memandang neraka baru. Hadirkan lengkingan merdu di laguku.
Bibirku mengulum
rindu. Rindu mencakar – cakar luka.
Laguku belum
usai.
Ini janjiku !!
; Satu baris
kata lagi masih terselip akan kutulis di lembar kelam nanti.
Tak lama lagi. Karena akupun sudah mencium amis
darahmu !
; Ke – ma – tian !
kedua .....
Tunggu, Sayang
... !!!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar