Sabtu, 02 November 2013


SINOPSIS Cerpen " MBELGEDES" Karya Gea Julia

 

Cerita dibuka dengan tampilan seorang perempuan bernama Lasmi yang sedang menunggu tamunya di gerbong kereta api, suatu malam. Tamu lelaki yang dinantinya itu tak lain adalah kekasih hatinya yang sudah memberikannya seorang anak laki - laki berumur tiga tahun. Meski berprofesi menjadi penjaja seks,

Lasmi menyimpan perasaan cinta yang mendalam pada lelaki itu, meski ia tahu Beni, lelaki itu telah memiliki istri dan anak.

Hingga sampai pada suatu malam, Lasmi dikecewakan Beni, karena sopir bus itu ternyata telah menggandeng perempuan lain. Kekecewaaan yang berbuah dendam meradang dalam diri Lasmi.
Penderitaan batin menusuk hati perempuan itu. Bukan hanya batin, Lasmi sempat disemprot istri Beni.
Kepada sahabatnya Lasmi bercerita, tetapi sahabatnya berharap Lasmi meninggalkan Beni.

Pada malam - malam berikutnya, kegetiran dan siksa batin kerap menyerbu hati Lasmi. Sampai pada suatu malam Beni datang lagi dan menyatakan perasaan sayangnya yang tak akan pernah hilang pada Lasmi.

Bagaimana sikap Lasmi menanggapi cinta Beni setelah dikhianati ? Ada kegaduhan apa di pagi hari di stasiun setelah semalam terjadi gelora asmara yang begitu hebat ? Siapa yang terbunuh dalam ending cerita ? Bagaimana nasib Lasmi ?

Silahkan baca CERPEN "Mbelgedes " Karya Gea Julia yang menjadi salah satu PEMENANG  favorit dalam LMCR Mentholatum Golden Award 2013 yang diselenggarakan RayaKultura

#  Cerpen dapat dibaca di blog ini.


*Cerita ini didedikasikan kepada teman - teman PSK Kroya, Slarang, dan Teluk Penyu Cilacap.


Jumat, 01 November 2013

" MBELGEDES" Karya Gea Julia



“ Masih hangat sisa percintaan semalam. Hmm… hidungku berdenyut masih ingin menciumi aromanya, melentur lidahku ingin lagi menjilati gairahnya. Bibirku merekah mau lagi resapi anyirnya. Jemariku melentik lentik ingin mengelupasi kerak – keraknya untuk kurekatkan di jaketku untuk hiasan perlambang cinta”
***
Bersama laju kereta yang menghilang di kegelapan malam berubah raut wajahku. Suasana lengang.
Aku  di sini sudah biasa. Sambil kuhisap sebatang rokok bisa kulihat suasana malam dingin yang gamang. Cahaya terang lampu di peron tak mampu menyembunyikan setiap gerakan, pun cicak yang saling mematuk di dinding stasiun. Hembus angin menyapa setiap tubuh. Seorang lelaki tua tertidur di bangku dengan mulut menganga, seorang bencong berjalan cepat menuju toliet. Pemuda berjaket hitam asyik menikmati sebatang rokok bersandar di dinding, sementara seorang lelaki tengah baya tampak menenggak minuman berenergi dari sebuah botol, seorang ibu duduk di bangku menyusui anaknya serta  di sebelahnya seorang anak kecil terkantuk – kantuk di pangkuan ayahnya, seorang pedagang asongan sibuk menghitung recehan di trotoar, beberapa tukang becak dan tukang ojek bercengkerama tentang penumpang mereka hari ini. Aku juga melihat Petugas Keamanan menyisir stasiun dengan matanya yang tajam, siap dengan senjata di tangan.
Stasiun. Malam terus berdenyut. Aroma harum, sengau, busuk bercampur menelisik dada hidup. Berlebur mengurai harapan di deru laju kereta. Lihat saja, Petugas loket disibukkan tiket. Petugas Pemberangkatan  lihai memainkan benderanya. Tukang ojek terbiasa menawarkan jasanya. Calo Tiket terbiasa memangsa calon penumpang yang tergesa. Pedagang asongan, terbiasa dengan suara lantangnya. Panjaga toilet, terbiasa duduk manis menunggu kotak pundi pundi sambil terkantuk –kantuk. Pengamen kecil lantang teriakan nyanyian sumbangnya. Pengemis sibuk menadahkan tangan. Pencopet asyik memainkan kelincahan jari - jarinya. Mereka teramat bergantung pada kereta; Stasiun. Apalagi perempuan yang sok cantik dan seksi  sepertiku. Ya, stasiun. Ia laksana lokomotif yang menarik puluhan gerbong di belakangnya. Bagaimana mungkin kehidupan mereka, aku, dilepaskan dari kereta ? Bukankah kereta terus melaju sejak pagi hingga malam hari sampai pagi lagi ?
Aku masih berdiri di sini, gerbong  tak terpakai, tua, karatan, dan gelap. Gemeretak  gigiku

tanda kecemasan. Terselip sebatang rokok di sela jari, menggigil kuyu melawan dingin malam. Asam rasanya. Gincu yang kupoles sejak tadi sore pudar. Berkali – kali kuhembuskan asap ke udara membentuk kepulan asa. Nafas jengah bergumul meramu gelisah mengaduk jiwa di rongga dada. Lebih dari sejam aku menunggu dan sudah menghabiskan entah berapa batang rokok.
“ Brengsek ! Dia menipuku lagi !”
Aku  sangat yakin kalau ia tak akan datang malam ini. Namun jiwa yang diliputi rindu ini menentang suara hati. Sangat tak mengerti, mengapa aku masih mematri hati pada seorang lelaki busuk macam dia !?
“ Keterlaluan !! “ umpatku. Kuinjak – injak puntung terakhir.
“ Hai...!”
Sebuah suara lelaki tiba- tiba mengejutkanku. Ah, bukan dia.
“ Menunggu Beni ? “  matanya liar memandangku. “hahahahak... sampai kering juga tak akan kau  temukan!..”  Rinto,  salah seorang teman Beni. “ Apa, kau tak ingin bersamaku ?” Ia menggodaku.
Tanpa kata aku bergegas tinggalkannya. Dia tak berarti apa – apa bagiku.
“ Ups! “  Ia menarik lenganku “ mau kemana ?” sergahnya.
“ Bukan urusanmu !” kataku tanpa memandangnya “ Lepaskan tanganku !”
“ Aow, aow,aow..! Sejak kapan aku tak boleh menyentuhmu ?”
“ Uugh !!” kukibaskan tanganku agar terlepas dari cengkeramannya. “ Jangan ganggu aku !”
“ Hahahahakk.... !!! “  Dia terbahak. Tawa pengisyarat kalau aku perempuan leceh. Tawa pernyataan jika aku  terbiasa dengan sentuhan nakal. Tapi kali ini, sungguh ! sentuhan macam itu serasa silet yang menyayat kulit ! Aku sedang tak ingin sentuhan manapun !
Aku berjalan cepat melintasi rel kereta. Menembus terobosan para tukang ojek dan sederet becak yang terparkir di depan stasiun.
Aku hanya bisa melukis langit dengan air mata. Mengecup awan dengan siulan. Sungguh ! Lecehan lelaki itu  badai yang memporak-porandakan hatiku. Melarung mimpi diantara kepingan hati. Aku mungkin busuk bagi setiap lelaki yang pernah menyentuhku. Namun bagiku daging yang bernyanyi ini melagukan irama rindu demi pencapaian ritme indah dalam hidupku. Aku tak ingin laguku berhenti sampai aku bernafas satu – satu. Karena aku tahu, ada lirik pada bait – bait tertentu yang harus kusempurnakan. Yang harus kutuntaskan ! Sebab bukan sekedar lagu, ini nyanyian kelam. Lengkingan malam yang menghunus setiap jantung yang berdetak mendengarkan rintihan.
“ Brengsek! Brengsek !! “ umpatku berulang kali.
Aku mulai merasa Lelakiku tak lagi menginginkan tubuh ini. Ia sudah berkali – kali ingkar dari janjinya sendiri. Entah apa yang sedang menutupi mata hatinya. Nuraninya tak lagi terketuk oleh suara tangis bocah.
“ Maafkan Ibu, Nak ! Ia tak lagi mengingatmu. Mungkin ia lupa ada darah kentalnya mengalir di tubuhmu “
Aku selalu ingat anakku, Dino, kini berumur tiga tahun. Aku kerap memandanginya di kala ia tidur. Bercanda dengannya kala waktu – waktuku. Ya, ia lahir dari rahimku. Murni dan suci tanpa cela rupanya. Sering kutitipkan ia pada Tri, tetanggaku yang seorang pembantu, karena aku harus bekerja pada malam – malam begini, bahkan terkadang hingga pagi menjelang.
Badanku cabik. Laksana sedang mengokop sup lumpur dalam mangkuk berisi cacahan tulang – tulang bayi. Hitam dan pekat menopeng wajahku. Untuk raup saja tak ada seliurpun ludah membasahi pipiku. Cemong!
Buat makan sehari – hari saja, selama ini aku dapati dari tiap – tiap malamku melayani Lelaki Hidung Belang, berondong, ABG tua, akh!! Entah apa lagi sebutan keparat – keparat itu!   Untuk berteriak suaraku tercekik langit malam. Kakiku cuma bisa menendang bintang. Berlariku hanya mampu sejengkal. Merangkakku menuju lekuk budak. Kebutuhan hidup lebih mendesak, berjejal dengan harapan dan impian bernama  masa depan. Itu selalu membawaku untuk melakukan hal bodoh dan nista yang sama pada malam – malam berikutnya. Kadang aku berpikir, masih ada tidak ya, aku menggenggam satu cinta ? Segenggam saja,  kuraih  cinta yang bertebaran diantara puluhan bola api neraka dunia! Ah , sepertinya  imposible!
Beni. Lelaki yang telah beristri itu telah membawa separuh hatiku. Bahkan sejak empat tahun yang lalu ...
“ Nggak, apa – apa. Kita ikuti saja perasaan ini ...” ucapnya seraya lembut membelaiku pada malam – malam yang membius.
Aku menatapnya lekat – lekat.
“ Aku mencintaimu, Lasmi ... “
Bisikannya membuaiku pada ratusan bahkan ribuan senyawa di udara. Menerbangkan bunga – bunga pada dada yang bergelora. Mengisi cawan – cawan kosong dengan air surga dalam rongga asmara. Bersemayam lama. Hingga aku melahirkan anak lelaki.
“ Apa kau masih berharap pada lelaki brengsek itu ? ”
Tiba – tiba sebuah suara membuyarkan lamunanku. Hesti, perempuan berumur tigapuluh tahun itu, menyodorkan segelas jus jeruk hangat kepadaku.
Kami berdiam. Dia tampak menjagaiku.
“ Udah, lupakan aja dia, cari yang lain !” katanya seraya menghembuskan asap rokok membentuk bola bola ke udara. Kami duduk berhadapan di sebuah lesehan tak jauh dari stasiun.
“ Dia, ayah  anakku !” tegasku.
Kabar itu bukan hal baru buat Hesti. Selama ini,  semua yang terjadi padaku, ia tahu. Perempuan bertubuh sintal itu lebih lama melacur dariku.  Dia teman terdekatku, terbaikku, saat ini.
Tiba - tiba terdengar suara laki – laki dan perempuan terkikik dari balik kain penutup tenda. Canda – canda menggoda menusuk telinga. Kutajamkan pendengaran. Aku terbelalak. Aku kenal suara itu ! Suara lelaki itu .... Beni !
“ Kamu cemburu ?!” tanya Hesti melihat gelagatku.
Wajahku memanas. “ Hes, meski gue pelacur,  trus, gue nggak boleh cemburu, gitu ?!”
“ Ya..., secara ! “
“ Secara gimana? Dia kan, juga ayah  anakku ! Jadi wajar dong !” Mataku terbelalak.
 “ Lasmi !” Ia menahan langkahku. Berusaha meredamku. “ Gue tau, lo  sakit !  Tapi coba berpikir  jernih dong  ! ” katanya.
“ Udah!! Gue nggak bisa menahan diri lebih lama di sini !” sergahku. Aku  berlalu  melintasi tenda sebelah berisi keduanya. Aku mau muntah, muak!!
Aku melihat lelakiku dengan seorang perempuan muda, entah siapa. Mesra.
Hancur! Remuk hatiku!
Malam makin garang siap menerkam jiwa goncang ini. Malam ini jadi malam terburuk dalam hidupku. Terburuk! Serupa hal yang melingkupi pikiranku. Orang  mengatakan aku perempuan jalang yang malang. Yang dianugerahi kecantikan tapi selalu dikuntit penderitaan. Yang dianugerahi cinta, tapi timbul di tengah kemiskinan dan terpedaya dengan emas dunia yang menyala. Ketika aku menyerah padanya ; ia ; cinta meninggalkanku tanpa menyisakan sabait rindu sedikitpun. Aku serupa mangsa yang gemetaran dalam cakar – cakar penurunan nilai harga diri dan bersimbah luka yang sangat menyedihkan! Nista !
Aku kerap tak bisa memejamkan mata. Malam-  malamku menjadi malam yang mengerikan! Kerap menyongsong keterkutukan! Jiwaku lelah! Kepayahan. Hingga untuk memejamkan mata saja aku harus meminum obat tidur yang kubeli di apotek tak jauh dari stasiun. Sudah lama kulakukan ini. Ya, kemanapun aku pergi, obat itu selalu terselip di jaketku. Ia menjadi teman karibku. Ya, obat tidur itu .... Obat itu, melenyapkan semua beban yang menderaku ! Meski sesaat ...  
***
Rona senja dilapisi kabut kristal tak berpancar kerlipnya memanjang di langit, adzan maghrib berkumandang di mushala tak jauh  dari tempat tinggalku di gang sempit perumahan kumuh dekat stasiun. Terkadang aku ingin memenuhi panggilan itu, tapi aku tak tahu harus mulai dari mana. Berulang kali pintu hidayah terbuka, tapi semudah itu pula tertutup kembali oleh desakan kebutuhan hidup yang terus menggerogoti perut. Ah, selalu suara adzan, bagiku tak ubahnya seperti nyanyian kasmaran penghibur kegalauan hati. Ia laksana cukai tembakau pada sebungkus rokok. Selalu ada, harus ada, tapi tak  dilirik sedikitpun oleh penikmatnya.  Ah, ...
Aku sedang menyuapi Dino di teras rumah kontrakanku. Bercelana pendek bunga – bunga dengan berkaos pink, aku duduk santai menikmati senja. Tiba – tiba seorang perempuan seumuranku datang menghampiri. Tergopoh – gopoh. Dengan emosi ia menjambak rambutku.
“ Dasar perempuan murahan ! Pelacur kere ! Perusak rumah tangga orang ! Belum puas kau hancurkan aku, hah ?! “ suaranya keras dan bernada tinggi. “ Mana suamiku ? Mana Beni ?! Kau simpan di mana dia ?!” Ia mengguncang – guncang tubuhku.
Aku berusaha melepaskan cengkeramannya. Sementara Dino menjerit dan menangis melihatku diperlakukan buruk.
Perempuan itu memandangku laksana serigala yang akan memakan mangsa. Panas. Beringas.
“ Mana ?! “ bentaknya.
Belum sempat aku berkata – kata, ia menarik Dino.
“ Hei, bocah haram ! seharusnya kau mati membusuk di tong sampah ! “ makinya seraya menjoglo kepala Dino.
“ Meri ! Cukup ! “ teriakku tak kalah keras. Darahku bergolak.
Perempuan yang ternyata istri Beni itu terperangah.
“ Kau boleh perlakukan apa saja aku, tapi tidak pada anakku ! “ tegasku.
  Huh ! Ibu sama anak, sama saja, haram !”
Rasanya ingin sekali aku menyumpal mulutnya dengan gumpalan kain yang sudah kucelupkan ke bensin, lalu aku tinggal menyulut sebatang rokok dan sisa api kusulutkan pada kain di mulutnya itu! Leeeb…Buuulll…!!
Aku   memilih menahan amarah, karena aku tahu, aku  salah, tapi aku tidak kalah!
“ Aku tak tahu di mana dia ! “ kataku pelan.
“ Bohong !” bantahnya dengan suara seperti serigala mengaum.
“ Bila tak percaya, geledah saja rumahku !”
“ Huh !! “  lecehnya. Bibirnya mencibir, sinis. “ Tak sudi aku masuk ke rumah pelacur sepertimu ! haram !”
Aku menghela napas.
“ Cyuuuh !! “ Ia meludah, lalu pergi meninggalkanku.
Kupeluk erat tubuh kecil Dino yang gemetar ketakutan. Kusalurkan energi kegembiraan. Kuberi ia ketenangan. Aku mencoba menyuapi jiwanya dengan cinta, seperti aku tahu, kehadirannya  pun karena cinta ...
***
Malam membentang mengepakkan sayap hitam. Ia laksana kerudung yang menutupi rambut panjang seorang gadis.  Senyum dingin mengecup air mata. Mata tajam mengguratkan luka. Napas memuai beraromakan dendam kesumat !
Kupikir aku sudah lupa seperti apa itu  cinta. Kupikir aku sudah sangat muak, muaaakk sekali dengan lelaki itu, tapi malam ini Beni berhasil meluluhkan hatiku. Dia menemuiku dan memberi semua yang kubutuhkan. Semua ! Semmuanya!! Malam ini menjadi malam paling menggairahkan untuk aku juga dia ! Ah, kali ini ia yang menggebu – gebu. Bagaimanapun aku tak mau kalah bergelora ! Tatapan matanya sangat aku rindukan, sorot mata yang telah lama hilang sejak perempuan muda itu masuk ke dalam hidupnya. Kini aku menikmatinya. Sungguh, ini luar biasa!
Gerbong kereta.
“ Maafkan aku, Lasmi ! Bukan maksudku melupakanmu. Aku hanya ingin mengikuti kata hati ...”  Bibirnya merekah.
Aku diam menatapnya. Ada sanjung puja sekaligus kegetiran merancau jiwa.
“ Kau tahu, aku ayah dari anakmu. Maka percayalah, aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu ...” Kata – katanya laksana madu yang melumuri bibirku.
Kecup manisnya menyengat ubun - ubunku. Menggetarkan jiwa dan meluruhkan seluruh darah yang mengalir dalam tubuhku. Ia dahsyat dan luar biasa ! Aku tahu itu sejak empat tahun yang lalu. Ya, jiwaku menjadi  hangat. Tubuhku menjadi lentur. Pasrah. Tak terarah ...
Ini getaran terhebat dari nada – nada pengusir penat. Cawanku terasa terisi kembali anggur kehidupan yang membawaku pada kepasrahan. Ah,  indah memang bermahkota cinta... berputik asmara beraroma nafsu ...
Sungguh, ini malam penuh gelora jiwa sekaligus tiang pertama aku membuat pintu masuk baginya pada sebuah masa. Masa baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. Aku baru saja membimbingnya agar ia dapat mengurai tempat persinggahan jiwa. Aku adalah metafor yang memeluk kenyataan, kenyataan yang menggulirkan kesatuan roh. Sekaligus aku adalah pedang yang menebas rohnya ! Akulah Sang Eksekutor !
***
Derit pintu gerbang stasiun  membangunkanku. Aku menguak, mengumpulkan nyawa. Seberkas cahaya menerpa wajahku. Kupicingkan mata.  Kuulas diri sepagi ini. Oh, aku masih di gerbong usang ini. Rupanya malam tadi aku baru saja terbuai.
Kehidupan kembali berdenyut di stasiun. Pun ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Angin terasa menyayat kulit ari. Awan berarak kelabu. Napas ini agak sengau. Kulihat orang – orang berduyun – duyun melangkah tergesa, bahkan berlari. Mata penat dan wajah lesu berubah mengganas merasakan sesuatu. Mereka berseru, berkata – kata tentang sesuatu. Menyiratkan ketakutan, kepanikan, kekhawatiran, kengerian. Dalam sekejap stasiun padat dengan jiwa – jiwa yang resah.
“ Ada apa, Pak ?” tanya seorang ibu pada lelaki tua tak jauh dariku.
“ Ada yang mati ! tertabrak kereta !”
Semakin lama semakin berkerumun orang – orang. Sementara aku terpekur di sini menahan tubuh yang bergetar. Oh, ada tanda merah di sini bekas cumbuan malam tadi. Kusulut sebatang rokok pereda ketegangan. Aku mengemas diri.  Masih hangat sisa percintaan semalam. Rasanya masih ingin aku menciumi aromanya, kujilati gairahnya, kuresapi anyirnya dan  kukupasi kerak – keraknya untuk kurekatkan di jaketku sebagai hiasan perlambang cinta.
Memunguti sisa – sisa cinta semalam membuatku seperti berdiri di bibir tebing persinggahan jiwa. Melihatnya melambaikan tangan serta memanggil – manggil namaku. Hmm... menggelikan !  Bersiul aku melihatmu ketakutan.
Aku tak peduli !!
Tanpa melihatpun aku tahu siapa yang mati. Beni ! Tentu saja tubuhnya tercecer terlindas kereta, karena tadi malam aku memasukkan obat tidur ke dalam minumannya lalu menyeretnya ke tengah rel kereta. Aku yang menghabisinya !!
Lagu kematian menjadi lagu terindah pagi ini. Aku baru saja menyelesaikan bait terakhir dari laguku. Aku baru saja temui cengkok  indah pada nada – nadanya. Aku puas menuntaskan laguku.
“ Hai... ! “
Tiba – tiba sebuah suara mendesirkan darahku. Rinto ! Lagi – lagi lelaki itu !
“ Aku tahu apa yang kau lakukan semalam “ katanya dengan suara sangat jelas.
Aku tersentak. Jantungku berdebar sangat kencang. “ Apa maksudmu ?! “ selidikku.
“ Maksudku .... “ Ia tersenyum seraya mencolek pipiku, “ ..... kalau kau mau tak ada yang tahu, kau ikuti saja semua keinginanku !” tawarnya. Kulihat wajahnya mangar-mangar pertanda ia sungguh – sungguh.
Mblegedes!!! Brengsek!! Ia mengunciku. Rupanya ia tahu aku yang membunuh sopir bus itu.
Sejak pagi itu ada perjanjian kotor. Aku harus mengikuti semua kemauannya.
Aku menjadi pembiusnya. Gairahnya. Geloranya.. Hasratnya. Seksinya.  Dimanapun, kapanpun ia mau ! Tanpa aku kecup sedikitpun nikmatnya !! Budak !! Ya, aku jadi    budaknya !!!!!
“Shieett!!! Go to hell !!” batinku.
Geliatku sekuat  serigala yang aumannya menembus langit memandang neraka baru. Hadirkan lengkingan merdu di laguku.
Bibirku mengulum rindu. Rindu mencakar – cakar luka.
Laguku belum usai.
Ini janjiku !!
; Satu baris kata lagi masih terselip akan kutulis di lembar kelam nanti.
 Tak lama lagi. Karena akupun sudah mencium amis darahmu !
;  Ke – ma – tian  !
 kedua .....
Tunggu, Sayang ... !!!
***